E.
Mutahayyirah
Mutlak
Mutahayyirah Mutlak
adalah wanita yang lupa kadar dan waktu (haidh) dan ia bukan Mumayyizah, atau
ia lupa awal siklus haidhnya. (Al-Majmû’ juz 2 halaman 459).
Mutahayyirah
atau tahayyur dapat terjadi disebabkan karena lupa, tidak perhatian
(terhadap haidh dan suci yang pernah terjadi), penyakit yang lama yang timbul
akibat sakit atau yang lain, atau karena telah mengalami gila. (Tuhfat
al-Muhtâj juz 1 halaman 407).
1.
Hukum
Mutahayyirah Mutlak
Mutahayyirah Mutlak
wajib berhati-hati. Hal ini dikarenakan setiap waktu yang ia lalui selalu
dimungkinkan terjadi haidh dan suci. Selain itu, kita tidak mungkin menghukuminya
suci selamanya. Dengan demikian yang wajib baginya adalah hati-hati karena dharurat. (Tuhfat
al-Muhtâj juz 1 halaman 407).
Arti hati-hati
adalah wanita ini dihukumi seperti wanita yang haidh dalam beberapa hal dan
dihukumi seperti wanita suci dalam beberapa hal. Ia dihukumi seperti wanita
haidh dalam 6 hal, yaitu: bersentuhan antara pusar dan lutut, membaca al-Quran di
selain shalat, memegang dan membawa mushaf, berdiam di masjid dan melewati masjid.
Dan ia dihukumi sebagai wanita suci dalam 5 hal, yaitu: shalat, thawaf, puasa,
talak dan mandi. (Hasyiyah Abdul Hamid ‘ala Tuhfat al-Muhtâj).
2.
Sucinya
Mutahayyirah
Jika ia
mengetahui terputusnya darah, misal ia mengatakan: “Saya tahu bahwa haidhku
terputus saat terbenamnya matahari”, maka setiap hari ia hanya wajib mandi
ketika terbenamnya matahari saja tidak pada waktu-waktu yang lain. Hal ini
dikarenakan secara dzahir pada bulan ini terputusnya darah juga terjadi pada
saat terbenamnya matahari, seperti bulan-bulan sebelumnya. Dengan mandi ini, ia
wajib melakukan shalat Maghrib dan hanya wajib wudhu ketika akan melakukan
shalat yang lainnya (selain Maghrib).
Namun, apabila
ia tidak mengetahui waktu terputusnya darah, maka ia wajib mandi setiap akan
melakukan shalat fardhu. Dan mandinya ini harus dilakukan setelah masuknya
waktu shalat, tetapi ia tidak diwajibkan untuk segera melakukan shalat setelah
mandi. Dan pada pertengahan mandi ia wajib menertibkan anggota wudhu jika ia
tidak mandi dengan cara menyelam. Kewajiban menertibkan anggota wudlu‘ ini
apabila ia tidak menginginkan untuk melakukan wudhu setelah mandi. (Al-Majmû’
juz 2 halaman 463, Tuhfat al-Muhtâj dan Hasyiyah Abdul Hamid juz 1
halaman 408).
3.
Cara
Shalat Mutahayyirah
Wanita ini
tetap wajib melakukan shalat 5 waktu dan diperbolehkan melakukan shalat jenazah
dan shalat sunnah, baik rawatib atau bukan. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1
halaman 408 dan al-Majmû’ juz 2 halaman 469).
4.
Cara
Puasa Mutahayyirah
Mutahayyirah
wajib melakukan puasa Ramadhan dengan penuh, karena dimungkinkan ia dihukumi
suci pada semua bulan ini. Selanjutnya, ia wajib puasa lagi satu bulan penuh.
Maka, dari setiap bulan ia menghasilkan 14 hari (sebagai puasa yang sah).
Logikanya, jika ia puasa satu bulan penuh, dan kemungkinan darah keluar pada
siang hari tanggal 1, dan ia juga kemungkinan mengalami haidh selama 15 hari,
maka berarti darah akan berhenti pada siang hari tanggal 16. Dengan demikian,
puasa yang sah cuma 14 hari, karena tanggal 1-16 masih dihukumi haidh. Dan
begitu logika seterusnya.
Ia juga wajib
menyempurnakan 2 hari yang tersisa, dengan cara melakukan puasa 3 hari yang
pertama dan 3 hari yang terakhir dari masa 18 hari. Maka, dengan cara ini, ia
menghasilkan 2 hari (puasa yang sah). Logikanya, jika ia puasa 3 hari awal dan
3 hari terakhir dari 18 hari, dan kemungkinannya darah keluar pada siang hari
pada hari ke-1, sedangkan ia juga dimungkinkan mengalami haidh selama 15 hari,
maka darah akan berhenti pada siang hari pada hari ke-16. Dengan demikian,
puasa yang sah adalah cuma 2 hari, yaitu hari ke-17 dan 18. Dan bila haidh
datang pada siang hari pada hari ke-2, maka darah akan terputus pada hari
ke-17. Dengan demikian puasa yang sah cuma 2 hari, yaitu hari ke-18 dan ke-1.
Begitu seterusnya.
Dan jika ia
ingin mengqadha puasa cuma 1 hari, maka caranya ia melakukan puasa dari 18
hari, pada hari ke-1, lalu hari ke-3 dan terakhir hari ke-17. Dari cara ini ia
menghasilkan 1 hari puasa yang sah. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 408
dan al-Majmû’ juz 2 halaman 469).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar