Rabu, 24 September 2014

D. Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah



D.    Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah

Mu’tadah Ghairu Mumayyizah adalah wanita yang pernah mengalami haidh dan suci serta melihat darah cuma dalam satu sifat atau dalam beberapa sifat tapi ia kehilangan satu syarat dari beberapa syarat tamyîz.

1.      Hukum Mu’tadah Ghairu Mumayyizah

Hukum haidh wanita ini dikembalikan pada kebiasaan haidhnya (bila kebisaan haidhnya 5 hari, maka haidhnya juga 5 hari), dan selainnya adalah istihadhah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah Ra.:

“Sesungguhnya seorang wanita pada zaman Nabi  mengeluarkan darah. Dan Ummu Salamah memintakan fatwa untuknya kepada Rasul Saw., maka dijawab: “Hendaklah ia melihat bilangan hari dan malam yang ia mengalami haidh pada bulan sebelum ia mengalami masalah yang menimpanya. Hendaklah ia meninggalkan shalat pada kadar bilangan hari dan malam tersebut.” (HR. Imam Mâlik dalam al-Muwaththa’, asy-Syâfi'i dan Imam Ahmad dalam Musnad keduanya, Abu Dâwud, Ibn Mâjaĥ, an-Nasâ‘i dalam kitab Sunan mereka, dengan menggunakan sanad yang shahih  sesuai syarat Bukhâri dan Muslim. Lihat dalam al-Majmû’ juz 12 halaman 440).

2.      Dengan Apa Adat (Kebiasaan) Haidh Ditetapkan?

Adat atau kebiasaan haidh dan suci dapat ditetapkan dengan cuma satu kali kejadian. Contoh: Seorang wanita mempunyai kebiasaan haidh 5 hari setiap bulan, kemudian pada suatu bulan ia haidh 6 hari. Selanjutnya pada bulan setelahnya ia mengeluarkan darah sampai melebihi 15 hari.

Maka wanita ini, pada bulan ini mengalami istihadhah dan ia disebut Mu’tadah karena ia pernah mengalami haidh dan suci. Karena itu, haidhnya kita kembalikan pada kebiasaannya yang terakhir, yaitu 6 hari. Hal ini dikarenakan adat/kebiasaan dapat ditetapkan cuma dengan satu kali kejadian.

3.      Masalah-masalah yang Berhubungan dengan Tetapnya Adat

a.       Ketika kebiasaan haidh berbeda-beda dan teratur, maka kebiasaan yang seperti ini dapat dianggap tetap dengan 2 kali putaran. Contoh: Seorang wanita pada bulan pertama mempunyai  kebiasaan haidh 3 hari, lalu pada bulan kedua 5 hari, lalu pada bulan ketiga 7 hari dan pada bulan keempat 3 hari, bulan kelima 5 hari serta bulan keenam 7 hari.

Maka, kebiasaan ini dapat ditetapkan dalam waktu 6 bulan (yaitu 2 kali putaran dikalikan 3 bulan). Maka, jika setelah bulan ke-6 (yaitu bulan ke-7), ia mengalami istihadhah, maka pada bulan ini haidhnya dikembalikan pada 3 hari. Dan jika pada bulan setelahnya istihadhah lagi, maka haidhnya dikembalikan pada 5 hari. Dan jika pada bulan setelah itu istihadhah lagi, maka haidhnya dikembalikan pada 7 hari. Begitu seterusnya seperti urut-urutan masa haidh pada kebiasaan yang telah terjadi di atas, yaitu  3 hari, lalu 5 hari dan selanjutnya 7 hari.

Yang dimaksud dengan “teratur” di sini adalah adanya (haidh) yang terjadi pada setiap bulan itu lebih banyak atau lebih sedikit dari bulan sebelumnya (namun tetap dalam posisi runtut, seperti 3, 7, 5 dan 3, 7, 5 atau 7, 3, 5 dan 7, 3, 5). Dengan demikian, jika ia melihat darah 5 hari, lalu 6 hari, lalu 7 hari atau sebaliknya, ini juga tetap dikatakan teratur. (Al-Qalyûbi juz 1 halaman 120).

Namun, apabila kebiasaan yang telah terjadi tidak teratur (acak-acakan), terkadang satu adat mendahului adat yang lain dan adat yang lain mendahului yang satu (seperti 3, 5, 7 lalu 5, 3, 7 atau 5, 3, 7 lalu 3, 7, 5 atau 3, 5, 7 lalu 7, 5, 3 dan seterusnya), maka wanita seperti ini haidhnya dikembalikan pada bulan tepat sebelum bulan istihadhah.

Contoh: Seorang wanita pada bulan pertama haidh 3 hari, bulan kedua 5 hari, bulan ketiga 7 hari, bulan keempat 5 hari, bulan kelima 7 hari, bulan keenam 3 hari. Selanjutnya, pada bulan ketujuh, ia mengalami istihadhah. Maka, masa haidhnya dikembalikan pada bulan tepat sebelum istihadhah, yaitu bulan keenam, berarti pada bulan ini ia mengalami haidh selama 3 hari.

Dan ia wajib berhati-hati sampai pada masa paling banyaknya kebiasaan  haidh yang telah berlaku, apabila masa haidhnya tidak dikembalikan pada paling banyaknya masa haid tersebut. Artinya, karena pada contoh di atas ia dihukumi haidh selama 3 hari, maka pada hari ke-4, ia harus segera mandi. Dan mulai hari ke-4 ini sampai hari ke-7 (masa paling banyak-banyaknya kebiasaan haidh yang telah berlaku) ia harus berhati-hati.

Adapun yang dimaksud dengan hati-hati adalah, ia masih dihukumi seperti orang haidh dalam masalah seperti wathi (bersetubuh), dan dihukumi suci dalam masalah ibadah dan ia wajib mandi pada setiap akhir kebiasaan haidh (pada contoh di atas, ia wajib mandi pada akhir hari ke-5 dan akhir hari ke-7).

Tetapi, Ibnu Qasim al-‘Abbadi berpendapat: “Dalam kitab al-‘Ubab dan yang lain disebutkan, sekiranya siklus haidh tidak terjadi berulang-ulang, maka masa haidhnya dikembalikan pada masa haidh yang terjadi paling terakhir (sebelum istihadhah) dan ia tidak wajib berhati-hati secara mutlak..” (Nihâyat al-Muhtâj dan Hawâsyî juz 1 halaman 345).

b.      Adat dapat ditetapkan dengan tamyîz (dapat membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang dihukumi haidh adalah darah kuat) sebagaimana ia juga dapat ditetapkan dengan putusnya darah.

Contoh: Seorang wanita yang baru pertama kali haidh, melihat darah hitam 5 hari dan selanjutnya melihat darah kuning terus-menerus. Dan pada bulan ke-2, ia melihat darah yang sama sampai melebihi 15 hari. Maka, adat wanita ini adalah hari-hari darah hitam  (yang ada pada bulan pertama, yang ada 5 hari. Berarti, pada bulan kedua ini, hukum haidhnya dikembalikan pada tamyîz, yaitu 5 hari). (Al-Majmû’ juz 2 halaman 447).

c.       Yang dimaksud adat (kebiasaan) haidh, yang menjadi acuan buat menghukumi darah haidh (ketika terjadi istihadhah), adalah kebiasaannya ketika saat haidh dan suci. Perpaduan antara masa haidh dan masa suci ini disebut siklus haidh (ad-daur).

Contoh: Seorang wanita mempunyai kebiasaan haidh yang terus-menerus selama 6 hari dan kebiasaan suci 16 hari. Maka, siklus haidh wanita ini adalah 22 hari; 6 hari haidh dan 16 hari suci. Seandainya dalam satu bulan darah yang keluar melebihi 15 hari dan status wanita ini adalah Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah, maka pada contoh ini wanita masa haidhnya dihukumi dengan kebiasaannya yang telah berlaku. Berarti pada bulan ini haidhnya adalah 6 hari dan suci 16 hari, lalu (pada bulan selanjutnya bila tetap istihadhah) haidh 6 hari dan suci 16 hari, lalu haidh 6 hari dan suci 16 hari begitu seterusnya. Jika darah keluar terus-menerus tanpa terputus. Dengan demikian, jumlah hari dalam satu bulan bagi wanita seperti ini adalah cuma 22 hari; 6 hari haidh dan 16 hari suci. (Al-Majmû’ juz 2 halaman 447).

d.      Kebiasaan (haidh) dapat berpindah-pindah, kadang maju dan kadang mundur, kadang bertambah dan kadang berkurang. Jika seorang wanita mengalami kondisi seperti ini, maka masa haidhnya dikembalikan pada kejadian haidh yang terakhir kali dialami.

Contoh: Seorang wanita kebiasaan haidhnya adalah 5 hari yang kedua tiap bulan (tanggal 6, 7, 8, 9, 10). Jika satu bulan ia melihat darah pada 5 hari pertama (tanggal 1, 2, 3, 4 dan 5) lalu darah terputus. Maka, dalam hal ini kebiasaan haidh wanita ini maju (yang awalnya tiap bulan haidh pada 5 hari ke-2, yaitu tanggal 6, 7, 8, 9, 10 sedang sekarang ia haidh pada 5 hari pertama, yaitu tanggal 1, 2, 3, 4 dan 5). Sedangkan masa haidhnya tetap 5 hari, tetapi masa sucinya berkurang dari 25 menjadi 20. (Bughyat al-Musytarsyidîn halaman 51).

4.      Hal-hal yang Harus Dilakukan Mu’tâdah pada Bulan Kedua

Ketika seseorang Mu’tâdah pada bulan kedua tetap mengeluarkan darah sehingga melewati adat kebiasaan haidhnya, maka ia wajib mandi ketika darah sudah melewati adat kebiasaan tadi. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 405).

Sedangkan pada bulan pertama istihadhah, ia tidak mandi ketika darah melewati adat kebiasaan, tetapi menunggu sampai darah melewati 15 hari. Hal ini dilakukan karena dimungkinkan darah nantinya akan terputus sabelum 15 hari, sehingga semua darah yang keluar dihukumi haidh.

Contoh: Seorang Mu’tâdah mempunyai kebiasaan haidh 5 hari tiap bulan. Pada saat bulan Rajab, ternyata darah yang keluar melebihi kebiasaannya dan bahkan sampai melebihi 15 hari. Dan ternyata darah terus keluar lagi pada bulan Sya’ban juga sampai melebihi15 hari. Maka, pada bulan pertama istihadhah (bulan Rajab) ia baru wajib mandi ketika darah sudah melewati 15 hari, bukan saat darah melewati adat kebiasaannya. Sedangkan pada bulan kedua (Sya’ban) ia sudah wajib mandi ketika darah sudah melewati adat kebiasaan.

Selanjutnya, ia wajib melakukan hal-hal yang wajib dilakukan oleh wanita yang suci, seperti shalat puasa dll. Dan begitu seterusnya, ia wajib melaksanakan hal-hal di atas setiap bulan. Namun, bila pada suatu bulan darah terputus pada saat 15 hari atau sebelumnya, maka berarti ia tidak istihadhah pada bulan ini, yang berarti  semua darah yang keluar pada bulan ini adalah haidh sehingga ia wajib mengqadha puasa (yang ia lakukan setelah darah melewati adat kebiasaan). Hal ini dikarenakan ternyata puasa yang dilakukan tidak sah karena ia mengalami haidh bukan istihadhah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar