B.
Kapan
Seorang Wanita Dihukumi Suci
Sebagaimana seorang
wanita dihukumi haidh ketika melihat darah, ia juga dihukumi suci ketika
berhentinya darah setelah sampainya darah pada masa minimum haidh. Batasan
berhentinya darah adalah jika sepotong kapas dimasukkan ke lubang vagina, maka
kapas tadi keluar dalam keadaan bersih, tidak ada sama sekali bekas-bekas darah
(tidak terdapat salah satu dari sifat-sifat darah, kalau cuma ada cairan putih,
ini juga dihukumi suci).
(Ketika telah dihukumi suci), maka ia wajib
mandi besar, shalat, puasa dan halal untuk dikumpuli. Tetapi, bila nantinya
darah keluar lagi, maka sangat jelas bahwa ibadah yang telah dilakukan tadi
terjadi pada masa haidh. Dengan demikian, ia wajib mengqadha puasa yang
ditinggalkan (karena puasanya yang dilakukan ternyata ada dalam masa haidh. Tetapi,
ia tidak wajib mengqadha shalat). Dan suami yang terlanjur mengumpulinya tidak
dikenai dosa, karena hukum suatu perkara ditentukan melihat dzahirnya keadaan
perkara tersebut. Selanjutnya jika darah putus lagi, maka ia dihukumi suci.
Begitu seterusnya selama darah tidak melewati masa maksimum haidh (15 hari 15
malam). (Fath al-Jawâd Syarh al-Irsyad juz 1 halaman 56).
Namun, jika
seorang wanita telah mempunyai kebiasaan terputusnya darah, lalu kembali keluar
darah lagi, maka ia tidak wajib melakukan apapun ketika waktu terputusnya
darah, karena secara dzahir haidhnya pada bulan ini sama dengan bulan
sebelumnya. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam ar-Rafi’i dan Ibnu Hajar. (Tuhfat
al-Muhtâj juz 1 halaman 400).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar