Rabu, 24 September 2014

G. Mutahayyirah yang Lupa Waktu Haidh, Ingat Jumlah Haidh



G.    Mutahayyirah yang Lupa Waktu Haidh, Ingat Jumlah Haidh

Hukum wanita ini adalah, setiap waktu yang diyakini terjadi haidh diberlakukan semua hukum haidh. Sedangkan setiap waktu yang diyakini tejadi suci diberlakukan seperti wanita suci yang istihadhah. Dan setiap waktu yang dimungkinkan tejadi haidh dan suci dihukumi wajib berhati-hati sebagaimana Mutahayyirah Mutlak.

Selanjutnya, apabila waktu yang dimungkinkan terjadinya haidh dan suci ini juga mengalami kemungkinan terputusnya darah, maka ia diwajibkan mandi setiap akan melakukan shalat fardhu karena ada kemungkinan terputusnya darah sebelum waktu shalat fardhu. Namun, apabila ia tahu bahwa darahnya terputus pada waktu tertentu, misalnya pada malam hari atau siang hari, maka ia hanya wajib mandi setiap hari pada saat waktu itu saja. Dan pada hari ke-2 ia tidak mempunyai kewajiban mandi sampai tiba waktu mandi seperti hari pertama .

Contoh: Ia ingat bahwa darahnya putus pada malam hari, maka ia wajib mandi pada malam hari saja. Sedangkan pada hari ke-2 ia juga tidak wajib mandi sampai malam hari tiba, baru setelah malam hari tiba ia wajib mandi dan seterusnya.

Hukum di atas dapat belaku dengan 2 syarat:
1.      Sang wanita harus mengetahui kadar siklus haidhnya (daur al-haidh). Jika ia berkata: “Haidhku 15 hari dan awal siklus haidhku adalah hari ini (menyebutkan nama hari tertentu), tapi aku tidak tahu kadar siklusnya.” Maka, hal-hal yang diketahui (banyaknya haidh dan awal siklus haidh) tidak mempunyai faedah sama sekali karena adanya kemungkinan-kemungkinan yang telah disebutkan di atas. Dengan demikian, wanita ini dihukumi seperti Mutahayyirah Mutlak.
2.      Sang wanita harus mengetahui permulaan siklus haidhnya. Jika ia tidak mengetahui permulaan siklus haidhnya, maka ia dihukumi seperti Mutahayyirah Mutlak.

Contoh: Seorang wanita berkata: “Lama haihdku adalah 15 hari, tapi aku lupa letaknya dalam siklus haidhku dan aku tidak mengetahui kecuali hal ini.” Maka, masa haidh yang ia ketahui tidak mempunyai arti sama sekali, karena di dalam setiap waktu terdapat kemungkinan terjadi haidh, suci dan terputusnya darah. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 410 dan al-Majmû’ juz 2 halaman 510-511).

Salah satu contoh Mutahayyirah yang lupa waktu haidh, ingat bilangan adalah: Seorang wanita berkata: “Haidhku adalah 6 hari dari 10 hari pertama dalam setiap bulan.” Maka, hari ke-5 dan 6 adalah masa haidh secara yakin dan dari hari ke 7-10 adalah masa yang dimungkinkan terjadinya putusnya darah. Dengan demikian, ia wajib mandi setiap akan melakukan shalat fardhu. Sedangkan dari hari ke 1-5 adalah masa dimungkinkan datangnya haidh sehingga ia tidak wajib mandi (pada masa-masa ini). (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 411).


F. Mutahayyirah yang Ingat Waktu Haidh, Lupa Jumlah Haidh



F.    Mutahayyirah yang Ingat Waktu Haidh, Lupa Jumlah Haidh

Wanita ini, jika ia ingat waktunya haidh dan ia lupa berapa jumlah kadar haidhnya, maka masa yang diyakini suci dihukumi suci. Dan masa  yang diyakini haidh dihukumi haidh. Sedangkan masa yang dimungkinkan terjadi haidh dan suci, pada masa ini, wanita ini dihukumi seperti wanita haidh dalam masalah bersetubuh, memegang mushaf dan membaca al-Quran di selain shalat, serta dihukumi seperti wanita suci dalam ibadah-ibadah yang membutuhkan niat. Selanjutnya, waktu yang ada kemungkinan terputusnya darah, ia wajib mandi setiap akan melakukan shalat fardhu. Namun pada waktu yang tidak ada kemungkinan teputusnya darah, ia hanya wajib wudhu setiap akan melakukan shalat fardhu.

Contoh: Seorang Mutahayyirhah berkata: “Awal haidku adalah permulaan bulan dan aku tidak ingat selain hal ini.” Maka, awal bulan dihukumi haidh dengan yakin dan ia wajib mandi setelah masa satu hari ini. Selanjutnya, pada hari ke 2-15, ia dalam keadaan suci yang masih diragukan, sehingga ia wajib shalat dan mandi setiap akan melakukan shalat karena pada masa-masa ini dimungkinkan terjadi putusnya darah. Adapun masa setelah 15 hari sampai akhir bulan adalah dihukumi suci dengan yakin sehingga hanya wajib wudhu ketika akan shalat.

Contoh lain: Seorang Mutahayyirah berkata: “Aku tahu bahwa aku menghalami haidh dalam 1 bulan hanya 1 kali dan pada hari ke-6 aku juga mengalami haidh. Maka, hukumnya adalah hari ke-6 dihukumi haidh dengan yakin, 10 terakhir (tanggal 20-30) dihukumi suci dengan yakin dan dari hari ke 6-20 adalah masa-masa dimungkinkannya terjadi terputusnya darah, bukan awal datangnya darah, dan dari hari ke 1-6 kemungkinan terjadi awal datangnya darah. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 411 dan al-Majmû’ juz 2 halaman 510-511).

E. Mutahayyirah Mutlak



E.    Mutahayyirah Mutlak

Mutahayyirah Mutlak adalah wanita yang lupa kadar dan waktu (haidh) dan ia bukan Mumayyizah, atau ia lupa awal siklus haidhnya. (Al-Majmû’ juz 2 halaman 459).

Mutahayyirah atau tahayyur dapat terjadi disebabkan karena lupa, tidak perhatian (terhadap haidh dan suci yang pernah terjadi), penyakit yang lama yang timbul akibat sakit atau yang lain, atau karena telah mengalami gila. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 407).

1.      Hukum Mutahayyirah Mutlak

Mutahayyirah Mutlak wajib berhati-hati. Hal ini dikarenakan setiap waktu yang ia lalui selalu dimungkinkan terjadi haidh dan suci. Selain itu, kita tidak mungkin menghukuminya suci selamanya. Dengan demikian yang wajib baginya adalah  hati-hati karena dharurat. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 407).

Arti hati-hati adalah wanita ini dihukumi seperti wanita yang haidh dalam beberapa hal dan dihukumi seperti wanita suci dalam beberapa hal. Ia dihukumi seperti wanita haidh dalam 6 hal, yaitu: bersentuhan antara pusar dan lutut, membaca al-Quran di selain shalat, memegang dan membawa mushaf, berdiam di masjid dan melewati masjid. Dan ia dihukumi sebagai wanita suci dalam 5 hal, yaitu: shalat, thawaf, puasa, talak dan mandi. (Hasyiyah Abdul Hamid ‘ala Tuhfat al-Muhtâj).

2.      Sucinya Mutahayyirah

Jika ia mengetahui terputusnya darah, misal ia mengatakan: “Saya tahu bahwa haidhku terputus saat terbenamnya matahari”, maka setiap hari ia hanya wajib mandi ketika terbenamnya matahari saja tidak pada waktu-waktu yang lain. Hal ini dikarenakan secara dzahir pada bulan ini terputusnya darah juga terjadi pada saat terbenamnya matahari, seperti bulan-bulan sebelumnya. Dengan mandi ini, ia wajib melakukan shalat Maghrib dan hanya wajib wudhu ketika akan melakukan shalat yang lainnya (selain Maghrib).

Namun, apabila ia tidak mengetahui waktu terputusnya darah, maka ia wajib mandi setiap akan melakukan shalat fardhu. Dan mandinya ini harus dilakukan setelah masuknya waktu shalat, tetapi ia tidak diwajibkan untuk segera melakukan shalat setelah mandi. Dan pada pertengahan mandi ia wajib menertibkan anggota wudhu jika ia tidak mandi dengan cara menyelam. Kewajiban menertibkan anggota wudlu‘ ini apabila ia tidak menginginkan untuk melakukan wudhu setelah mandi. (Al-Majmû’ juz 2 halaman 463, Tuhfat al-Muhtâj dan Hasyiyah Abdul Hamid juz 1 halaman 408).

3.      Cara Shalat Mutahayyirah

Wanita ini tetap wajib melakukan shalat 5 waktu dan diperbolehkan melakukan shalat jenazah dan shalat sunnah, baik rawatib atau bukan. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 408 dan al-Majmû’ juz 2 halaman 469).

4.      Cara Puasa Mutahayyirah

Mutahayyirah wajib melakukan puasa Ramadhan dengan penuh, karena dimungkinkan ia dihukumi suci pada semua bulan ini. Selanjutnya, ia wajib puasa lagi satu bulan penuh. Maka, dari setiap bulan ia menghasilkan 14 hari (sebagai puasa yang sah). Logikanya, jika ia puasa satu bulan penuh, dan kemungkinan darah keluar pada siang hari tanggal 1, dan ia juga kemungkinan mengalami haidh selama 15 hari, maka berarti darah akan berhenti pada siang hari tanggal 16. Dengan demikian, puasa yang sah cuma 14 hari, karena tanggal 1-16 masih dihukumi haidh. Dan begitu logika seterusnya.

Ia juga wajib menyempurnakan 2 hari yang tersisa, dengan cara melakukan puasa 3 hari yang pertama dan 3 hari yang terakhir dari masa 18 hari. Maka, dengan cara ini, ia menghasilkan 2 hari (puasa yang sah). Logikanya, jika ia puasa 3 hari awal dan 3 hari terakhir dari 18 hari, dan kemungkinannya darah keluar pada siang hari pada hari ke-1, sedangkan ia juga dimungkinkan mengalami haidh selama 15 hari, maka darah akan berhenti pada siang hari pada hari ke-16. Dengan demikian, puasa yang sah adalah cuma 2 hari, yaitu hari ke-17 dan 18. Dan bila haidh datang pada siang hari pada hari ke-2, maka darah akan terputus pada hari ke-17. Dengan demikian puasa yang sah cuma 2 hari, yaitu hari ke-18 dan ke-1. Begitu seterusnya.

Dan jika ia ingin mengqadha puasa cuma 1 hari, maka caranya ia melakukan puasa dari 18 hari, pada hari ke-1, lalu hari ke-3 dan terakhir hari ke-17. Dari cara ini ia menghasilkan 1 hari puasa yang sah. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 408 dan al-Majmû’ juz 2 halaman 469).

D. Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah



D.    Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah

Mu’tadah Ghairu Mumayyizah adalah wanita yang pernah mengalami haidh dan suci serta melihat darah cuma dalam satu sifat atau dalam beberapa sifat tapi ia kehilangan satu syarat dari beberapa syarat tamyîz.

1.      Hukum Mu’tadah Ghairu Mumayyizah

Hukum haidh wanita ini dikembalikan pada kebiasaan haidhnya (bila kebisaan haidhnya 5 hari, maka haidhnya juga 5 hari), dan selainnya adalah istihadhah. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah Ra.:

“Sesungguhnya seorang wanita pada zaman Nabi  mengeluarkan darah. Dan Ummu Salamah memintakan fatwa untuknya kepada Rasul Saw., maka dijawab: “Hendaklah ia melihat bilangan hari dan malam yang ia mengalami haidh pada bulan sebelum ia mengalami masalah yang menimpanya. Hendaklah ia meninggalkan shalat pada kadar bilangan hari dan malam tersebut.” (HR. Imam Mâlik dalam al-Muwaththa’, asy-Syâfi'i dan Imam Ahmad dalam Musnad keduanya, Abu Dâwud, Ibn Mâjaĥ, an-Nasâ‘i dalam kitab Sunan mereka, dengan menggunakan sanad yang shahih  sesuai syarat Bukhâri dan Muslim. Lihat dalam al-Majmû’ juz 12 halaman 440).

2.      Dengan Apa Adat (Kebiasaan) Haidh Ditetapkan?

Adat atau kebiasaan haidh dan suci dapat ditetapkan dengan cuma satu kali kejadian. Contoh: Seorang wanita mempunyai kebiasaan haidh 5 hari setiap bulan, kemudian pada suatu bulan ia haidh 6 hari. Selanjutnya pada bulan setelahnya ia mengeluarkan darah sampai melebihi 15 hari.

Maka wanita ini, pada bulan ini mengalami istihadhah dan ia disebut Mu’tadah karena ia pernah mengalami haidh dan suci. Karena itu, haidhnya kita kembalikan pada kebiasaannya yang terakhir, yaitu 6 hari. Hal ini dikarenakan adat/kebiasaan dapat ditetapkan cuma dengan satu kali kejadian.

3.      Masalah-masalah yang Berhubungan dengan Tetapnya Adat

a.       Ketika kebiasaan haidh berbeda-beda dan teratur, maka kebiasaan yang seperti ini dapat dianggap tetap dengan 2 kali putaran. Contoh: Seorang wanita pada bulan pertama mempunyai  kebiasaan haidh 3 hari, lalu pada bulan kedua 5 hari, lalu pada bulan ketiga 7 hari dan pada bulan keempat 3 hari, bulan kelima 5 hari serta bulan keenam 7 hari.

Maka, kebiasaan ini dapat ditetapkan dalam waktu 6 bulan (yaitu 2 kali putaran dikalikan 3 bulan). Maka, jika setelah bulan ke-6 (yaitu bulan ke-7), ia mengalami istihadhah, maka pada bulan ini haidhnya dikembalikan pada 3 hari. Dan jika pada bulan setelahnya istihadhah lagi, maka haidhnya dikembalikan pada 5 hari. Dan jika pada bulan setelah itu istihadhah lagi, maka haidhnya dikembalikan pada 7 hari. Begitu seterusnya seperti urut-urutan masa haidh pada kebiasaan yang telah terjadi di atas, yaitu  3 hari, lalu 5 hari dan selanjutnya 7 hari.

Yang dimaksud dengan “teratur” di sini adalah adanya (haidh) yang terjadi pada setiap bulan itu lebih banyak atau lebih sedikit dari bulan sebelumnya (namun tetap dalam posisi runtut, seperti 3, 7, 5 dan 3, 7, 5 atau 7, 3, 5 dan 7, 3, 5). Dengan demikian, jika ia melihat darah 5 hari, lalu 6 hari, lalu 7 hari atau sebaliknya, ini juga tetap dikatakan teratur. (Al-Qalyûbi juz 1 halaman 120).

Namun, apabila kebiasaan yang telah terjadi tidak teratur (acak-acakan), terkadang satu adat mendahului adat yang lain dan adat yang lain mendahului yang satu (seperti 3, 5, 7 lalu 5, 3, 7 atau 5, 3, 7 lalu 3, 7, 5 atau 3, 5, 7 lalu 7, 5, 3 dan seterusnya), maka wanita seperti ini haidhnya dikembalikan pada bulan tepat sebelum bulan istihadhah.

Contoh: Seorang wanita pada bulan pertama haidh 3 hari, bulan kedua 5 hari, bulan ketiga 7 hari, bulan keempat 5 hari, bulan kelima 7 hari, bulan keenam 3 hari. Selanjutnya, pada bulan ketujuh, ia mengalami istihadhah. Maka, masa haidhnya dikembalikan pada bulan tepat sebelum istihadhah, yaitu bulan keenam, berarti pada bulan ini ia mengalami haidh selama 3 hari.

Dan ia wajib berhati-hati sampai pada masa paling banyaknya kebiasaan  haidh yang telah berlaku, apabila masa haidhnya tidak dikembalikan pada paling banyaknya masa haid tersebut. Artinya, karena pada contoh di atas ia dihukumi haidh selama 3 hari, maka pada hari ke-4, ia harus segera mandi. Dan mulai hari ke-4 ini sampai hari ke-7 (masa paling banyak-banyaknya kebiasaan haidh yang telah berlaku) ia harus berhati-hati.

Adapun yang dimaksud dengan hati-hati adalah, ia masih dihukumi seperti orang haidh dalam masalah seperti wathi (bersetubuh), dan dihukumi suci dalam masalah ibadah dan ia wajib mandi pada setiap akhir kebiasaan haidh (pada contoh di atas, ia wajib mandi pada akhir hari ke-5 dan akhir hari ke-7).

Tetapi, Ibnu Qasim al-‘Abbadi berpendapat: “Dalam kitab al-‘Ubab dan yang lain disebutkan, sekiranya siklus haidh tidak terjadi berulang-ulang, maka masa haidhnya dikembalikan pada masa haidh yang terjadi paling terakhir (sebelum istihadhah) dan ia tidak wajib berhati-hati secara mutlak..” (Nihâyat al-Muhtâj dan Hawâsyî juz 1 halaman 345).

b.      Adat dapat ditetapkan dengan tamyîz (dapat membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang dihukumi haidh adalah darah kuat) sebagaimana ia juga dapat ditetapkan dengan putusnya darah.

Contoh: Seorang wanita yang baru pertama kali haidh, melihat darah hitam 5 hari dan selanjutnya melihat darah kuning terus-menerus. Dan pada bulan ke-2, ia melihat darah yang sama sampai melebihi 15 hari. Maka, adat wanita ini adalah hari-hari darah hitam  (yang ada pada bulan pertama, yang ada 5 hari. Berarti, pada bulan kedua ini, hukum haidhnya dikembalikan pada tamyîz, yaitu 5 hari). (Al-Majmû’ juz 2 halaman 447).

c.       Yang dimaksud adat (kebiasaan) haidh, yang menjadi acuan buat menghukumi darah haidh (ketika terjadi istihadhah), adalah kebiasaannya ketika saat haidh dan suci. Perpaduan antara masa haidh dan masa suci ini disebut siklus haidh (ad-daur).

Contoh: Seorang wanita mempunyai kebiasaan haidh yang terus-menerus selama 6 hari dan kebiasaan suci 16 hari. Maka, siklus haidh wanita ini adalah 22 hari; 6 hari haidh dan 16 hari suci. Seandainya dalam satu bulan darah yang keluar melebihi 15 hari dan status wanita ini adalah Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah, maka pada contoh ini wanita masa haidhnya dihukumi dengan kebiasaannya yang telah berlaku. Berarti pada bulan ini haidhnya adalah 6 hari dan suci 16 hari, lalu (pada bulan selanjutnya bila tetap istihadhah) haidh 6 hari dan suci 16 hari, lalu haidh 6 hari dan suci 16 hari begitu seterusnya. Jika darah keluar terus-menerus tanpa terputus. Dengan demikian, jumlah hari dalam satu bulan bagi wanita seperti ini adalah cuma 22 hari; 6 hari haidh dan 16 hari suci. (Al-Majmû’ juz 2 halaman 447).

d.      Kebiasaan (haidh) dapat berpindah-pindah, kadang maju dan kadang mundur, kadang bertambah dan kadang berkurang. Jika seorang wanita mengalami kondisi seperti ini, maka masa haidhnya dikembalikan pada kejadian haidh yang terakhir kali dialami.

Contoh: Seorang wanita kebiasaan haidhnya adalah 5 hari yang kedua tiap bulan (tanggal 6, 7, 8, 9, 10). Jika satu bulan ia melihat darah pada 5 hari pertama (tanggal 1, 2, 3, 4 dan 5) lalu darah terputus. Maka, dalam hal ini kebiasaan haidh wanita ini maju (yang awalnya tiap bulan haidh pada 5 hari ke-2, yaitu tanggal 6, 7, 8, 9, 10 sedang sekarang ia haidh pada 5 hari pertama, yaitu tanggal 1, 2, 3, 4 dan 5). Sedangkan masa haidhnya tetap 5 hari, tetapi masa sucinya berkurang dari 25 menjadi 20. (Bughyat al-Musytarsyidîn halaman 51).

4.      Hal-hal yang Harus Dilakukan Mu’tâdah pada Bulan Kedua

Ketika seseorang Mu’tâdah pada bulan kedua tetap mengeluarkan darah sehingga melewati adat kebiasaan haidhnya, maka ia wajib mandi ketika darah sudah melewati adat kebiasaan tadi. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 405).

Sedangkan pada bulan pertama istihadhah, ia tidak mandi ketika darah melewati adat kebiasaan, tetapi menunggu sampai darah melewati 15 hari. Hal ini dilakukan karena dimungkinkan darah nantinya akan terputus sabelum 15 hari, sehingga semua darah yang keluar dihukumi haidh.

Contoh: Seorang Mu’tâdah mempunyai kebiasaan haidh 5 hari tiap bulan. Pada saat bulan Rajab, ternyata darah yang keluar melebihi kebiasaannya dan bahkan sampai melebihi 15 hari. Dan ternyata darah terus keluar lagi pada bulan Sya’ban juga sampai melebihi15 hari. Maka, pada bulan pertama istihadhah (bulan Rajab) ia baru wajib mandi ketika darah sudah melewati 15 hari, bukan saat darah melewati adat kebiasaannya. Sedangkan pada bulan kedua (Sya’ban) ia sudah wajib mandi ketika darah sudah melewati adat kebiasaan.

Selanjutnya, ia wajib melakukan hal-hal yang wajib dilakukan oleh wanita yang suci, seperti shalat puasa dll. Dan begitu seterusnya, ia wajib melaksanakan hal-hal di atas setiap bulan. Namun, bila pada suatu bulan darah terputus pada saat 15 hari atau sebelumnya, maka berarti ia tidak istihadhah pada bulan ini, yang berarti  semua darah yang keluar pada bulan ini adalah haidh sehingga ia wajib mengqadha puasa (yang ia lakukan setelah darah melewati adat kebiasaan). Hal ini dikarenakan ternyata puasa yang dilakukan tidak sah karena ia mengalami haidh bukan istihadhah.