D.
Mu’tâdah
Ghairu Mumayyizah
Mu’tadah Ghairu
Mumayyizah adalah wanita yang pernah mengalami haidh dan suci serta melihat
darah cuma dalam satu sifat atau dalam beberapa sifat tapi ia kehilangan satu
syarat dari beberapa syarat tamyîz.
1.
Hukum
Mu’tadah Ghairu Mumayyizah
Hukum haidh
wanita ini dikembalikan pada kebiasaan haidhnya (bila kebisaan haidhnya 5 hari,
maka haidhnya juga 5 hari), dan selainnya adalah istihadhah. Hal ini
berdasarkan hadits Ummu Salamah Ra.:
“Sesungguhnya
seorang wanita pada zaman Nabi mengeluarkan
darah. Dan Ummu Salamah memintakan fatwa untuknya kepada Rasul Saw., maka dijawab:
“Hendaklah ia melihat bilangan hari dan malam yang ia mengalami haidh pada
bulan sebelum ia mengalami masalah yang menimpanya. Hendaklah ia meninggalkan
shalat pada kadar bilangan hari dan malam tersebut.” (HR. Imam Mâlik dalam al-Muwaththa’,
asy-Syâfi'i dan Imam Ahmad dalam Musnad keduanya, Abu Dâwud, Ibn Mâjaĥ, an-Nasâ‘i
dalam kitab Sunan mereka, dengan menggunakan sanad yang shahih sesuai syarat Bukhâri dan Muslim. Lihat dalam
al-Majmû’ juz 12 halaman 440).
2.
Dengan
Apa Adat (Kebiasaan) Haidh Ditetapkan?
Adat atau
kebiasaan haidh dan suci dapat ditetapkan dengan cuma satu kali kejadian.
Contoh: Seorang wanita mempunyai kebiasaan haidh 5 hari setiap bulan, kemudian
pada suatu bulan ia haidh 6 hari. Selanjutnya pada bulan setelahnya ia mengeluarkan
darah sampai melebihi 15 hari.
Maka wanita
ini, pada bulan ini mengalami istihadhah dan ia disebut Mu’tadah karena ia
pernah mengalami haidh dan suci. Karena itu, haidhnya kita kembalikan pada
kebiasaannya yang terakhir, yaitu 6 hari. Hal ini dikarenakan adat/kebiasaan
dapat ditetapkan cuma dengan satu kali kejadian.
3.
Masalah-masalah
yang Berhubungan dengan Tetapnya Adat
a.
Ketika
kebiasaan haidh berbeda-beda dan teratur, maka kebiasaan yang seperti ini dapat
dianggap tetap dengan 2 kali putaran. Contoh: Seorang wanita pada bulan pertama
mempunyai kebiasaan haidh 3 hari, lalu
pada bulan kedua 5 hari, lalu pada bulan ketiga 7 hari dan pada bulan keempat 3
hari, bulan kelima 5 hari serta bulan keenam 7 hari.
Maka, kebiasaan
ini dapat ditetapkan dalam waktu 6 bulan (yaitu 2 kali putaran dikalikan 3
bulan). Maka, jika setelah bulan ke-6 (yaitu bulan ke-7), ia mengalami istihadhah,
maka pada bulan ini haidhnya dikembalikan pada 3 hari. Dan jika pada bulan
setelahnya istihadhah lagi, maka haidhnya dikembalikan pada 5 hari. Dan jika
pada bulan setelah itu istihadhah lagi, maka haidhnya dikembalikan pada 7 hari.
Begitu seterusnya seperti urut-urutan masa haidh pada kebiasaan yang telah
terjadi di atas, yaitu 3 hari, lalu 5
hari dan selanjutnya 7 hari.
Yang dimaksud
dengan “teratur” di sini adalah adanya (haidh) yang terjadi pada setiap bulan
itu lebih banyak atau lebih sedikit dari bulan sebelumnya (namun tetap dalam
posisi runtut, seperti 3, 7, 5 dan 3, 7, 5 atau 7, 3, 5 dan 7, 3, 5). Dengan demikian,
jika ia melihat darah 5 hari, lalu 6 hari, lalu 7 hari atau sebaliknya, ini
juga tetap dikatakan teratur. (Al-Qalyûbi juz 1 halaman 120).
Namun, apabila
kebiasaan yang telah terjadi tidak teratur (acak-acakan), terkadang satu adat
mendahului adat yang lain dan adat yang lain mendahului yang satu (seperti 3,
5, 7 lalu 5, 3, 7 atau 5, 3, 7 lalu 3, 7, 5 atau 3, 5, 7 lalu 7, 5, 3 dan
seterusnya), maka wanita seperti ini haidhnya dikembalikan pada bulan tepat
sebelum bulan istihadhah.
Contoh: Seorang
wanita pada bulan pertama haidh 3 hari, bulan kedua 5 hari, bulan ketiga 7
hari, bulan keempat 5 hari, bulan kelima 7 hari, bulan keenam 3 hari.
Selanjutnya, pada bulan ketujuh, ia mengalami istihadhah. Maka, masa haidhnya
dikembalikan pada bulan tepat sebelum istihadhah, yaitu bulan keenam, berarti
pada bulan ini ia mengalami haidh selama 3 hari.
Dan ia wajib
berhati-hati sampai pada masa paling banyaknya kebiasaan haidh yang telah berlaku, apabila masa haidhnya
tidak dikembalikan pada paling banyaknya masa haid tersebut. Artinya, karena
pada contoh di atas ia dihukumi haidh selama 3 hari, maka pada hari ke-4, ia
harus segera mandi. Dan mulai hari ke-4 ini sampai hari ke-7 (masa paling
banyak-banyaknya kebiasaan haidh yang telah berlaku) ia harus berhati-hati.
Adapun yang dimaksud
dengan hati-hati adalah, ia masih dihukumi seperti orang haidh dalam masalah
seperti wathi (bersetubuh), dan dihukumi suci dalam masalah ibadah dan
ia wajib mandi pada setiap akhir kebiasaan haidh (pada contoh di atas, ia wajib
mandi pada akhir hari ke-5 dan akhir hari ke-7).
Tetapi, Ibnu Qasim
al-‘Abbadi berpendapat: “Dalam kitab al-‘Ubab dan yang lain disebutkan,
sekiranya siklus haidh tidak terjadi berulang-ulang, maka masa haidhnya dikembalikan
pada masa haidh yang terjadi paling terakhir (sebelum istihadhah) dan ia tidak
wajib berhati-hati secara mutlak..” (Nihâyat al-Muhtâj dan Hawâsyî
juz 1 halaman 345).
b.
Adat dapat
ditetapkan dengan tamyîz (dapat membedakan darah kuat dan darah lemah, dan yang
dihukumi haidh adalah darah kuat) sebagaimana ia juga dapat ditetapkan dengan
putusnya darah.
Contoh: Seorang
wanita yang baru pertama kali haidh, melihat darah hitam 5 hari dan selanjutnya
melihat darah kuning terus-menerus. Dan pada bulan ke-2, ia melihat darah yang
sama sampai melebihi 15 hari. Maka, adat wanita ini adalah hari-hari darah
hitam (yang ada pada bulan pertama, yang
ada 5 hari. Berarti, pada bulan kedua ini, hukum haidhnya dikembalikan pada
tamyîz, yaitu 5 hari). (Al-Majmû’ juz 2 halaman 447).
c.
Yang dimaksud
adat (kebiasaan) haidh, yang menjadi acuan buat menghukumi darah haidh (ketika
terjadi istihadhah), adalah kebiasaannya ketika saat haidh dan suci. Perpaduan
antara masa haidh dan masa suci ini disebut siklus haidh (ad-daur).
Contoh: Seorang
wanita mempunyai kebiasaan haidh yang terus-menerus selama 6 hari dan kebiasaan
suci 16 hari. Maka, siklus haidh wanita ini adalah 22 hari; 6 hari haidh dan 16
hari suci. Seandainya dalam satu bulan darah yang keluar melebihi 15 hari dan status
wanita ini adalah Mu’tâdah Ghairu Mumayyizah, maka pada contoh ini wanita masa
haidhnya dihukumi dengan kebiasaannya yang telah berlaku. Berarti pada bulan
ini haidhnya adalah 6 hari dan suci 16 hari, lalu (pada bulan selanjutnya bila
tetap istihadhah) haidh 6 hari dan suci 16 hari, lalu haidh 6 hari dan suci 16
hari begitu seterusnya. Jika darah keluar terus-menerus tanpa terputus. Dengan
demikian, jumlah hari dalam satu bulan bagi wanita seperti ini adalah cuma 22
hari; 6 hari haidh dan 16 hari suci. (Al-Majmû’ juz 2 halaman 447).
d.
Kebiasaan (haidh)
dapat berpindah-pindah, kadang maju dan kadang mundur, kadang bertambah dan
kadang berkurang. Jika seorang wanita mengalami kondisi seperti ini, maka masa
haidhnya dikembalikan pada kejadian haidh yang terakhir kali dialami.
Contoh: Seorang
wanita kebiasaan haidhnya adalah 5 hari yang kedua tiap bulan (tanggal 6, 7, 8,
9, 10). Jika satu bulan ia melihat darah pada 5 hari pertama (tanggal 1, 2, 3,
4 dan 5) lalu darah terputus. Maka, dalam hal ini kebiasaan haidh wanita ini
maju (yang awalnya tiap bulan haidh pada 5 hari ke-2, yaitu tanggal 6, 7, 8, 9,
10 sedang sekarang ia haidh pada 5 hari pertama, yaitu tanggal 1, 2, 3, 4 dan 5).
Sedangkan masa haidhnya tetap 5 hari, tetapi masa sucinya berkurang dari 25
menjadi 20. (Bughyat al-Musytarsyidîn halaman 51).
4.
Hal-hal
yang Harus Dilakukan Mu’tâdah pada Bulan Kedua
Ketika
seseorang Mu’tâdah pada bulan kedua tetap mengeluarkan darah sehingga melewati
adat kebiasaan haidhnya, maka ia wajib mandi ketika darah sudah melewati adat
kebiasaan tadi. (Tuhfat al-Muhtâj juz 1 halaman 405).
Sedangkan pada
bulan pertama istihadhah, ia tidak mandi ketika darah melewati adat kebiasaan,
tetapi menunggu sampai darah melewati 15 hari. Hal ini dilakukan karena
dimungkinkan darah nantinya akan terputus sabelum 15 hari, sehingga semua darah
yang keluar dihukumi haidh.
Contoh: Seorang
Mu’tâdah mempunyai kebiasaan haidh 5 hari tiap bulan. Pada saat bulan Rajab,
ternyata darah yang keluar melebihi kebiasaannya dan bahkan sampai melebihi 15
hari. Dan ternyata darah terus keluar lagi pada bulan Sya’ban juga sampai
melebihi15 hari. Maka, pada bulan pertama istihadhah (bulan Rajab) ia baru
wajib mandi ketika darah sudah melewati 15 hari, bukan saat darah melewati adat
kebiasaannya. Sedangkan pada bulan kedua (Sya’ban) ia sudah wajib mandi ketika
darah sudah melewati adat kebiasaan.
Selanjutnya, ia
wajib melakukan hal-hal yang wajib dilakukan oleh wanita yang suci, seperti
shalat puasa dll. Dan begitu seterusnya, ia wajib melaksanakan hal-hal di atas
setiap bulan. Namun, bila pada suatu bulan darah terputus pada saat 15 hari
atau sebelumnya, maka berarti ia tidak istihadhah pada bulan ini, yang
berarti semua darah yang keluar pada
bulan ini adalah haidh sehingga ia wajib mengqadha puasa (yang ia lakukan
setelah darah melewati adat kebiasaan). Hal ini dikarenakan ternyata puasa yang
dilakukan tidak sah karena ia mengalami haidh bukan istihadhah.